Rabu, 21 Januari 2015

Nelayan Keluhkan Aturan yang Dibuat Menteri Susi

 
on 
Nelayan mengeluhkan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang dinilai memberatkan seperti rencana pembatasan pembelian solar dan pelarangan penangkapan lobster dan kepiting pada ukuran tertentu.
 
"Tadi saya menyampaikan dari Serikat Nelayan Tradisional soal larangan menangkap rajungan dan kepiting bertelur, ukuran dan segala macam, menteri itu (Susi) tidak mengerti persis kalau nelayan direpotkan soal ukuran tangkapan ikan," kata Ketua Serikat Nelayan Tradisional, Kajidin, seperti dikutip Kamis (22/1/2015).
 
Nelayan asal Indramayu ini juga khawatir kebijakan KKP nantinya banyak yang merugikan dan menyengsarakan nelayan karena banyaknya peraturan.
 
"Kita laporkan ke kementerian betapa repotnya. Untuk cari makan saja dari hasil melaut repot apalagi dibuat peraturan seperti itu," lanjutnya.
 
Senada dengan Kajidin, serikat nelayan dari Front Nelayan Bersatu Bambang menilai bagi orang awam, mungkin Susi sangat populer, namun di mata nelayan, kebijakannya banyak yang menyengsarakan.
 
"Di sisi orang yang non perikanan, kebijakan bu Susi ini bagus, menimbulkan rasa patriotisme dn sebagainya ini bagus. Tapi bagi kami kebijakan-kebijakan ini sangat bersingunggungan dengan keberlangsungan hidup kami dan ini jelek," ujarnya.
 
Nelayan pun menuntut Menteri Susi dicopot dari jabatannya bila tak pro terhadap nelayan kecil. Apalagi aspirasi mereka tak digubris oleh Susi.
 
"Dengan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kita menyarankan kepada bapak Presiden untuk mengganti menteri ini, karena kita minta waktu ibu menteri untuk berdialog tapi tidak memberikan waktu hingga Permen keluar, " ketus Bambang. 
 
Menanggapi keluhan nelayan, anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono berjanji akan memperjuangkan nasib nelayan. Ia mendukung kebijakan KKP yang memberatkan nelayan dikaji ulang.
 
"Terlepas dari direvisi atau tidak, pemerintah harus mengkaji secara komprehensif akibat dari Permen itu," kata Ono.(Nrm)

source : http://bisnis.liputan6.com/read/2164593/nelayan-keluhkan-aturan-yang-dibuat-menteri-susi

Kejagung Siap Eksekusi Mati Terpidana Korupsi

 
on 
Liputan6.com, Jakarta - Tidak hanya siap mengeksekusi mati terpidana kasus narkoba,Kejaksaan Agung juga siap mengeksekusi terpidana kasus korupsi bila dijatuhi vonis hukuman mati. Namun demikian, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Tony T Spontana mengatakan sejauh ini berdasarkan daftar terpidana mati yang diterima Kejagung belum ada satu pun narapidana kasus korupsi.
"Pada dasarnya kita hanya mengikuti apa yang diputuskan dan yang sudah ada di meja jaksa. Jika ada kasus korupsi yang harus di eksekusi mati ya wajib dihukum mati. Tetapi kan sampai sekarang belum ada napi korupsi yang dihukum mati," kata Tony di Kejagung, Jalan Jakarta, Rabu (24/12/2014).
Sejauh ini menurut dia, narapidana kasus korupsi belum ada yang dijatuhi vonis hukuman mati. Baik itu di tingkat pengadilan hingga di Mahkamah Agung. Adapun napi koruptor yang mengajukan kasasi ke MA antara lain Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Namun MA memutuskan memperkuat putusan pengadilan tinggi tingkat pertama dalam hal ini pengadilan tinggi tindak pidana korupsi dengan menjatuhkan vonis hukuman seumur hidup kepada Akil.
Jika mengacu pada Pasal 2 ayat 2 tentang Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, maka terpidana korupsi bisa dihukum mati berdasarkan keadaan tertentu. Yang dimaksud keadaan tertentu itu apabila tersangka korupsi tersebut terbukti kuat salah satunya mencatut dana bencana alam.
Berikut bunyi Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi:
UU No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Bab II
Pasal 1. "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
Pasal 2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan
Pada penjelasan pasal demi pasal, Pasal I angka 1 (Pasal 2 ayat 2):
"Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tindak pidana korupsi." (Luq/Ans)

source : http://news.liputan6.com/read/2152138/kejagung-siap-eksekusi-mati-terpidana-korupsi

Sutarman: Jangan Sampai Polri Diombang-ambing Kekuatan Politik

 
on 
Liputan6.com, Jakarta - Jenderal Polisi Sutarman tak lagi menjabat sebagai kepala Polri. Meski tak lagi menjabat sebagai orang nomor satu di korps Bhayangkara, Sutarman tetap mengingatkan kepada seluruh jajarannya untuk tidak terlibat dalam urusan politik.

"Jangan sampai kesatuan Polri diombang-ambing karena kekuatan-kekuatan politik. Karena saya menjaga marwah kepolisian negara Republik Indonesia ini untuk tidak terjun ke kanan kiri untuk kepentingan-kepentingan politik, tapi hanya untuk kepentingan bangsa dan negara," tegas Sutarman usai pelepasan Kapolri di Ruang Utama dan Pertemuan Mabes Polri, Jakarta, Rabu (21/1/2015).

Sutarman juga berpesan kepada para pejabat teras Polri baik itu Perwira Tinggi (Pati) dan Perwira Menengah (Pamen) untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Sehingga tidak memancing timbulnya konflik di internal Polri di tengah-tengah polemik pergantian calon Kapolri.

"Saya pesan ke teman-teman di Mabes dan daerah yang tidak tahu masalah banyak, jangan komentar banyak karena akan timbulkan disintegrasi di internal kepolisian," kata Sutarman.

Presiden Jokowi mengeluarkan 2 keputusan presiden (keppres). Pertama, pemberhentian dengan hormat Jenderal Polisi Sutarman sebagai Kapolri. Keppres kedua tentang penugasan Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab sebagai kapolri. Hal ini menyikapi status hukum calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan.

KPK sebelumnya menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi yakni penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Statusnya dijatuhkan setelah dia diusulkan Presiden Jokowi menjadi calon Kapolri untuk menggantikan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman.

Budi Gunawan dikenai Pasal 12 huruf a atau huruf b, Pasal 5 ayat 2, serta Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (Mvi/Sss)

source : http://news.liputan6.com/read/2164050/sutarman-jangan-sampai-polri-diombang-ambing-kekuatan-politik

Dalang Demo Rusuh FPI Didakwa Pasal Berlapis

 
on 
Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar sidang demo rusuh Front Pembela Islam (FPI) saat unjuk rasa menolak Basuki Tjahja Purnama atau Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Jumat 3 Oktober 2014 lalu. Duduk sebagai terdakwa, yakni Habib Novel Bamukmin yang diduga sebagai dalang kerusuhan.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Agus Setiadi mengatakan, Novel didakwa dengan pasal berlapis. Dalam dakwaan, Novel dijerat Pasal 160 KUHP Juncto Pasal 55 KUHP, sekunder Pasal 214 KUHP jo Pasal 55 KUHP.
"Selanjutnya Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan dan Provokasi, Pasal 214 KUHP tentang Perlawanan terhadap Petugas," ujar Agus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (21/1/2015).

Selain Novel, PN Jakpus juga menggelar sidang terpisah terdakwa Habib Shahabudin dan 16 terdakwa lainnya. Menurut Agus, sidang terpisah itu dikarenakan dakwaan yang diterapkan kepada terdakwa Novel dan Shahabudin dengan 16 terdakwa lainnya berbeda.

Sebab, Novel bersama Shahabudin dituduh sebagai pihak yang bertanggung jawab atas demo rusuh FPI saat berunjuk rasa menolak Ahok.

‎Aksi unjuk rasa FPI di depan Gedung DPRD DKI Jakarta dan Balaikota DKI Jakarta pada Jumat 3 Oktober 2014 lalu berakhir rusuh. FPI berunjuk rasa menolak pelantikan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo atau Jokowi yang terpilih menjadi Presiden 2014-2019.

Dalam insiden tersebut, 16 polisi terluka akibat lemparan batu, kayu, dan sabetan senjata tajam. Sejumlah fasilitas umum juga rusak.

Atas kerusuhan itu, polisi kemudian menetapkan 21 ‎Anggota FPI sebagai tersangka. Termasuk penanggung jawab aksi Habib Novel Bamukmin yang sempat menghilang sebelum menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya.‎ (Ali/Mut)
Hati-hati Lurah Camat, Ahok Punya Mata-mata
Kompas.com/Kurnia Sari Aziza
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1436 Hijriah, di gedung Smesco, Jakarta, Minggu (18/1/2015).
Kamis, 22 Januari 2015 | 10:55 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengimbau Lurah, Camat, staf Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) untuk terus meningkatkan pelayanan kepada warga. Sebab, lanjut dia, meskipun Basuki tidak turun ke lapangan blusukan meninjau pelayanan di kelurahan dan kecamatan, Basuki kerap mengirim mata-mata. 

"Bapak Ibu enggak tahu saja kalau saya suka kirim relawan dan orang saya untuk pantau pelayanan. Kalau saya yang nongol mah semuanya langsung siap-siap dan orang saya itu enggak putih-putih lho, banyak juga yang kumal dan warna kulitnya hitam," kata Basuki, saat melantik 701 pejabat DKI, di Blok G Balaikota, Kamis (22/1/2015).

Mata-mata itu kemudian melaporkannya langsung kepada Basuki dan meminta Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Saefullah untuk menyelidikinya. Ia menjelaskan, lebih baik ia salah menjadikan staf para pejabat DKI daripada membiarkan orang "salah" menjadi pejabat DKI.

Basuki mengatakan, apabila para pejabat yang dijadikan staf masih saja berkinerja buruk maupun menarik pungutan liar, Basuki bakal mencabut seluruh tunjangan kinerja daerah (TKD) staf itu. Para staf itu tidak boleh lagi ditempatkan di satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang sama, melainkan melaksanakan tugas belajar di Badan Diklat DKI.

"Di Diklat kamu baca koran dan wajib melaporkan dan menganalisis apa yang kamu baca. Kalau masih enggak bener juga kelakuannya, saya pecat dari PNS. Kuping saya tipis loh bapak ibu," kata Basuki. 

Selain itu, ia mengimbau para pejabat DKI untuk tidak lagi saling melempar tugas pokok fungsi (tupoksi). Sebab, lanjut dia, para PNS DKI wajib mengisi evaluasi harian kerja di website BKD Jakarta.go.id. Dari evaluasi kinerja itu, pihaknya dapat mengetahui berapa besar tunjangan kinerja daerah (TKD) yang didapatkan oleh seorang pegawai.

Meskipun pegawai itu tidak melakukan pekerjaan apa-apa, Basuki mengimbau untuk tetap mengisi evaluasi kerja tiap harinya. Sebab, bisa saja nantinya Basuki memindahkan pegawai itu ke posisi yang lebih banyak tugas serta pekerjaannya.

"Jadi nanti kami evaluasi apa memang kamu enggak kerja atau memang di dinas itu kelebihan pegawai," kata Basuki.
Penulis: Kurnia Sari Aziza
Editor: Ana Shofiana Syatiri

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Ahok-Djarot Pimpin Jakarta

source : http://megapolitan.kompas.com/read/2015/01/22/10550671/Hati-hati.Lurah.Camat.Ahok.Punya.Mata-mata

0

0

0